Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata

         Alat bukti (bewijsmiddel) mempunyai berbagai bentuk dan jenis, dimana alat bukti dalam hukum acara perdata digunakan para pihak yang berperkara untuk saling menguatkan dalil gugatan maupun dalil bantahan yang dikeluarkan para pihak dalam pesidangan yang kemudian hakim akan melakukan penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan para pihak sampai ditemukan alat bukti yang paling kuat atau sempurna pembuktianya sebagai dasar untuk membenarkan dalil gugatan maupun dalil bantahan serta mengabulkan petitum dalam gugatan maupun petitum dalam bantahan yang diajukan para pihak dalam persidangan.



         Dalam hukum acara perdata alat bukti telah diatur secara limitatif, yaitu seperti apa yang telah tercantum dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan 164 HIR yang terdiri dari :
  1. bukti tulisan
  2. bukti dengan saksi,
  3. persangkaan,
  4. pengakuan, dan
  5. sumpah
         Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan yang pertama karena dalam kenyataanya, setiap orang yang akan melakukan kegiatan dalam bidang perdata dengan sengaja membuat tulisan/catatan yang ditulis dalam akta atau surat, dimana akta atau surat tersebut sengaja dibuat sebagai tanda/ alat bukti bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum  atau transaksi yang telah dilakukan.

         Ditinjau dari sifatnya, alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan 164 HIR tersebut dapat diklasifikasikan menjadi Alat Bukti Langsung (Diect Evidence) dan Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence).

         Alat Bukti Langsung (Diect Evidence) sendiri adalah alat bukti yang mempunyai bentuk langsung / alat bukti fisik yang diajukan para pihak dalam persidangan. dengan kata lain alat bukti langsung dapat dilihat dan diperiksa langsung secara fisik. yang termasuk alat bukti langsung antara lain:
  1. alat bukti surat, dan
  2. alat bukti saksi
         Sedangkan yang dimaksud Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) adalah alat bukti yang pembuktianya tidak diajukan secara fisik melainkan diperoleh dengan menyimpulkan, menarik/mengambil  dari hal atau suatu peristiwa hukum yang terjadi dalam persidangan. yang termasuk dalam Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) adalah
  1. persangkaan
  2. pengakuan, dan 
  3. sumpah
         Namun, dalam acara perdata terdapat Tindakan hukum lain yang erat kaitanya dengan Pembuktian. sering kali dalam pembuktian, fakta atau peristiwa maupun obyek perkara masih belum cukup kuat atau masih kabur sehingga akan menimbulkan kerancuan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara. sehingga dalam prakteknya, dalam persidangan sering dilakukan dua tindakan hukum untuk mempejelas atau memperkuat fakta peristiwa, maupun obyek perkara yaitu dengan dilakukan Pemeriksaan Setempat (plaatsopneming) dan memanggil Ahli untuk dimintai pendapatnya.

        Pemeriksaan Setempat diatur dalam Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG, dan Pasal 211-214 Rv. Pemeriksaan Setempat dilakukan apabila dalam pemeriksaan suatu obyek barang perkara belum terdapat/ belum memperoleh kejelasan tentang lokasi, ukuran, batas-batas obyek sengketa tersebut. seperti yang dijelaskan dalam SEMA No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Sering terjadi dalam praktik peradilan, pada saat putusan hendak dieksekusi, obyek barang prkara tidak jelas, sehingga pelaksanaanya harus dinyatakan non-executable, yaitu eksekusi tidak dapat dilaksanakan /dijalankan karena obyek barang yang hendak dieksekusi tidak jelas dan tidak pasti. misal obyeknya adalah tanah yang akan dieksekusi, namun batas, ukuran dan lokasinya tidak jelas. maka untuk menghindari putusan yang non-executable, menurut SEMA tersebut, sebaiknya Pengadilan Negeri mengadakan pemeriksaan setempat berdasarkan Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG, dan Pasal 211-214 Rv apabila obyek perkara tersebut merupakan barang tidak bergerak yang keadaanya belum jelas dan tidak memungkinkan untuk diperiksa/dibawa ke persidangan, termasuk juga barang bergerak yang memang sama-sama tidak bisa dibawa/diperiksa dalam persidangan.

         Sedangkan Pemeriksaan Saksi Ahli diatur dalam 154 HIR maupun dalam Pasal 215-229 Rv.  secara umum Ahli merupakan seseorang yang mempunyai/memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. cara pengangkatanya diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR dan Pasal 215 Rv, dimana ketentuan tersebut menyatakan bahwa cara pengangkatan ahli ada dua yaitu yang pertama adalah Oleh Hakim secara Ex Officio, dimana Hakim dalam memerilksa, berpendapat bahwa perkara yang diperiksa perlu mendapat penjelasan yang lebih terang dari seorang ahli, maka Hakim atas inisiatif sendiri dapat menunjuk ahli secara ex officio. maka dalam hal ini Hakim tidak memerlukan persetujuan para pihak karena hakim melakaukanya atas dasar jabatanya. Dan yang kedua adalah pengangkatan ahli Atas Permintaan Salah Satu Pihak. sama halnya dengan pengangkatan ahli oleh Hakim, namun disini salah satu pihak yang berperkaralah yang berinisiatif untuk mengajukan permintaan pengangkatan ahli kepada hakim.

Referensi :
      2005. HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika.
        SEMA Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Stempat.

Comments

Post a Comment

Popular Posts