Alat Bukti Persangkaan dalam Hukum Acara Perdata

         Persangkaan, alat bukti ini diatur dalam Pasal 173 HIR, Pasal 310 RBG, dan Pasal 1915-1922 KUH Perdata. dalam Pembahasan tentang alat bukti dalam hukum perdata sebelumnya, telah dijelaska bahwa alat bukti persangkaan termasuk dalam Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) karena alat bukti tersebut tidak diajukan scara fisik melainkan diperoleh dengan cara menyimpulkan atau menarik/menngambil kesimpulan dari peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dalam persidangan. Pertanyaanya adalah dimana letak dari alat bukti persangkaan ini dan bagaimana kekuatan pembuktiannya? padahal alat bukti ini tidak dapat dilihat secara fisik. 

        Dalam Pasal 1915 KUH Perdata di jelaskan bahwa Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu yang tidak terkenal. dari Pasal tersebut dapat dibedakan bahwa persangkaan terdiri dari dua macam, yaitu:
  1. Persangkaan Undang-Undang
  2. Persangkaan Hakim.
lalu apa yang dimaksud dengan kalimat  "...ditariknya suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu yang tidak terkenal." dalam Pasal tersebut? sebelum menjelaskan hal tersebut perlu kita ketahui terlebuh dahulu fungsi dari persanggkaan ini. Banyak para teoritis dan akademisi berpendapat bahwa persangkaan bukanlah merupakan suatu alat bukti karena hanya berupa uraian tentang fakta-fakta yang disimpulkan dari peristiwa hukum yang ditemui dalam persidangan. namun persangkaan ini sangatlah penting karena  dalam faktanya banyak terjadi suatu peristiwa yang akan dijadikan sebagai alat bukti dalam pesidangan belum konkret, sehingga tidak ada kepastian terhadap peristiwa tersebut. Maka disinilah fungsi dari alat bukti persangkaan ini, dimana fakta-fakta atau alat bukti fisik dalam persidangan yang belum konkret, ditarik kesimpulan kearah yang lebih konkret kepastianya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Dengan kata lain, tanpa adanya persangkaan tidak mungkin dilaksanakanya suatu hukum pembuktian karena peristiwa hukum yang akan dijadikan alat bukti masih belum konkret atau kabur. Jadi maksud dari kalimat "...ditariknya suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu yang tidak terkenal." adalah menarik suatu peristiwa hukum yang konkret/umum ke arah suatu peristiwa hukum yang belum konkret/tidak umum.

Contoh: Ada seorang penggugat yang menggugat Tergugat karena wanprestasi terhadap perjanjian pembayaran hutang yang telah dilakukan. di pengadilan Penggugat mengajukan beberapa alat bukti sebagai berikut:
  • Saksi A mengatakan telah mengantarkan Pergugat ke rumah Penggugat pada tanggal 17 Agustus 2009.
  • Saksi B merupakan saksi yang melihat Tergugat dan Penggugat membuat akta bawah tangan yang berisi perjanjian pembayaran hutang yang akan dilakukan Tergugat paling lambat tanggal 9 September 2009 didepan rumah Penggugat pada tanggal 17 Agustus 2009 (hanya ada 1 saksi yang menyaksikan pembuatan akta bawah tangan, jadi kekuatan pembuktianya tidak sempurna/ hanya bukti permulaan)
  • Penggugat menunjukan  akta bawah tangan yang isinya adalah perjanjian jual beli dan terdapat  tanda tangan Tergugat namun tanda tangan tersebut dibantah oleh Tergugat (akta bawah tangan yang tanda tanganya dibantah pihak lawan maka kekuatan pembuktianya juga hanya sebagai bukti permulaan)
dari contoh diatas, penggugat sama sekali belum mempunyai alat bukti yang bersifat sempurna dan mengikat karena ketiga alat bukti yang diajukan sama-sama tidak mempunyai kekautan pembuktian yang sempurna, namun dalam hal ini hakim dapat menghubungkan ketiga peristiwa diatas dan menarik kesimpulan darinya untuk dijadikan sebuah persangkaan bahwa tergugat pada tanggal 17 Agustus 2009 telah membuat akta bawah tangan yang berisi perjanjian pembayaran utang di rumah Penggugat. hal tersebutlah yang nantinya akan dijadikan alat bukti dalam persidangan.

Persangkaan Undang-Undang
         Persangkaan undang-undang berdasarkan Pasal 1916 KUH Perdata adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Persangkaan undang-undang sendiri diklasifikasikan lagi menjadi 2 macam, yaitu persangkan undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumtion of law) dan persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah (irrebuttable presumtion of law) . Persangkaan undang-undang yang dapat dibantah berarti memungkinkan adanya pembuktian dari pihak lawan, contohnya adalah Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, dan 1439 KUH Perdata. Sedangkan persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah berarti pihak lawan tidak memungkinkan untuk melakukan pembuktian terhadap persangkaan tersebut. Contohnya dalam Pasal 184, 911, 1681 KUH Perdata.

Persangkaan Hakim
         Persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata, kekuatan pembuktianya bebas dengan kata lain terserah pada penilaian hakim. Dalam contoh kasus diatas, Persangkaan yang diadapatkan dalam menyimpulkan peristiwanya adalah persangkaan hakim, jadi dapat dilihat bahwa dalam hal ini Hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan. persangkaan yang dimaksud adalah setiap peristiwa yang telah dibuktikan di persidangan. 
          Satu persangkaan tidaklah cukup, agar dapat dikatakan sebagai alat bukti harus saling berhubungan denga persangkaan lai atau alat bukti lainya.Namun menurut pendapat Pitlo yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, hal tersebut sudah tidak dianut sehingga 1 peristiwa/persangkaan saja sudah cukup.

Referensi :
      2005. HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika.
        Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 


Comments

Post a Comment

Popular Posts