Alat Bukti Saksi dalam Hukum Acara Perdata

     Sama seperti pembahasan Alat bukti yang lain, dalam pembahasan alat bukti Saksi disini akan menititikberatkan pada 4 hal yaitu Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Pengajuan, dan Kekuatan Pembuktian.

        Dalam sengketa acara perdata tidak selamanya pembuktian dapat dilakukan dengan alat bukti tertulis, karena terkadang para pihak sama sekali tidak mempunyai alat bukti tertulis atau alat bukti tertulis yang ada tidak/belum memenuhi batas minimal pembuktian. Dala keadaan yang seperti ini para pihak biasanya menghadirkan seorang atau lebih saksi, dimana saksi ini merupakan orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau merasakan sendiri suatu kejadian/peristiwa hukum yang terjadi.

         Dalam KUH Perdata pembuktian menggunakan saksi diatur dalam Pasal 1895-1912,  dalam uraian mengenai saksi dalam Pasal tersebut, ada beberapa kriteria atau syarat agar orang dapat dikatakan sebagai saksi. Kriteria/syarat tersebut dapat diklasifikasikan kedalam dua macam syarat saksi, yaitu syarat formil dan syarat materiil.

Syarat Formil
  1. Orang yang kan dimintai keteranganya sebagai saksi harus cakap (sudah dewasa  menurut UU, tidak gila, tidak dalam pengampuan, atau dengan kata lain dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya);
  2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan salah satu pihak, kecauali UU menentukan lain. termasuk juga hubungan perkawinan walaupun sudah bercerai;
  3. Tidak ada hubungan kerja dengan menerima upah, kecuali UU menentukan lain;
  4. Mengkahadap ke persidangan;
  5. Diperiksa satu per satu;
  6. Mengucapkan Sumpah;
Syarat Materiil
  1. Menerangkan apa yang telah dilihat, didengar dan dialami sendiri;
  2. Diketahu sebab-sebab mengapa saksi mengetahui suatu peristwa yang akan diperiksa;
  3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri;
  4. Saling bersesuaian satu sama lain;
  5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Kekuatan Pembuktian
          apabila syarat-sayrat untuk menjadi seorang saksi telah terpenuhi, maka keterangan saksi tersebut dapat dijadikan sabagai suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat apabila keterangan saksi tersebut berhubungan dengan alat bukti lainya. Dengan kata lain keterangan dari seorang saksi saja tidak dapat dikatakan sebagai saksi (unus testis nullus testis) seperti yang diterangkan pada Pasal 169 HIR, 306 RBG, dan 1905 KUH Perdata. Jadi keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat adalah keterangan saksi yang berasal dari dua tau lebih saksi yang saling bersesuaian, atau keterangan saksi yang terdapat hubungan/bersesuaian dengan alat bukti lainnya.
TESTIMONIUM DE AUDITU 
         Dalam pengertianya, saksi merupakan orang yang mendengar, melihat, dan mengalami suatu peristiwa hukum yang merupakan syarat materiil saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti apa yang jituangkan dalam   Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan pendengaran yang bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi yang di sengketakan para pihak di pengadilan. Namun, dalam praktek ang senyatanya tidak jarang seorang saksi yang bersaksi atas sumber atau cerita dari keterangan yang disampaikan orang lain. keterangan yang seperti ini tentu bertentangan atau tidak sejalan dengan apa yang telah diatur dalam PAsal 171 HIR dan 1907 KUH Perdata. Sehingga, keterangan saksi yang bersumber dari keterangan orang lain dikatakan keterangan yang hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu, yaitu keterangan seorang saksi yang hanya bersumber atau berdasar pada keterangan yang didapatkan dari orang lain tanpa mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa hukumnya.

        Keterangan saksi de auditu pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti karena syarat materiil sebagai saksi tidak terpenuhi sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, namun dalam prakteknya saksi de auditu juga dapat di pertimbangkan keteranganya atau dapat diakui secara eksepsional, seperti contoh dalam Putusan MA No. 239 K/Sip/1973. Dalam kasus tersebut, baik PN, PT, dan MA membenarkan kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti dengan pertimbangan sebagai berikut:
  •           Bahwa keterangan saksi-saksi diatas pada umumnya adalah menurut pesan, tetapi haruslah pula dipertimbangkan bahwa ahampir semua kejadian atau pebuatan atau peistiwa hukum yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang, sehingga dalam hal demikian pesan turun temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut pengetahuan Hakim Majelis sendiri psan-pesan seperti ini oleh masyarakat Batak pada umumnya daianggap berlaku dan benar;
    • dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari siapa pesan itu diterima dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan tersebut;
    • oleh karena itu, dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut.

          Dalam putusan diatas, pengecualian terhadap saksi  de auditu  dilakukan karena saksi yang diharapkan dapat menjadi sumber terpercaya karena mengalami sendiri peristiwanya, sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia padahal peristiwa hukum tersebut tidak di abadikan dalam bentuk tulisan dalam bentuk surat atau semacamnya, disisi lain saksi yang memberikan keterangan mendapat pesan dari pelaku yang melakukan peristiwa hukumnya secara langsung sehingga dalam putusan ini, MA membenarkan keterangan dari saksi de auditu dengan syarat saksi de auditu  tersebut harus terdiri dari beberapa orang yang keteranganya saling berhubungan satu sama lainya.

Comments

Post a Comment

Popular Posts